Senin, 08 Maret 2010

Aku tak tahu kenapa. Tapi aku takkan pernah memejamkan mata di awal malam. Aku hanya akan terpejam di penghujungnya, di awal pagi. Aku mencoba bertanya- atau tepatnya hanya bercerita- pada beberapa teman, dengan harapan mereka bisa menemukan satu alasan untuk itu.


Ku coba untuk menghubungi beberapa teman, hanya melalui pesan singkat, yang terkadang tak ada intinya sama sekali. Aku hanya ingin menguapkan apa yang sedang aku rasakan. Terlalu lama aku memendam emosi. Dan tak lama setelah pesan singkat itu terkirim, mereka justru tak membiarkan aku tertidur. Telepon genggam ku berdering, dan mereka reflek bertanya ada apa denganku. Lalu aku mengarahkan pembicaraan malam itu dengan bersenda gurau, tanpa mau mengungkap sedikit pun apa yang ku rasakan.

Ku pikir toh mereka tak bisa membantu memecahkan masalahku, karena aku sendiri pun tak tahu apa masalah itu sebenarnya.

Jumat sore, jadwal untuk menghubungi ibuku. Bercerita pada ibu, kadang menjadi obat yang paling ampuh saat kita mau jujur. Namun aku hanya akan berkata ‘semuanya baik-baik saja’ tanpa merasa ingin menambah beban pikiran orang tua yang jauh di seberang lautan. Dan hubungan ibu-anak memang diberi keistimewaan oleh Tuhan. Ibuku bertanya- tanpa perlu aku bercerita- ada apa denganku. Dengan nada halus dan lembut seperti biasa aku menjawab aku tak punya masalah apapun, semua berjalan normal- seperti biasa. Ibuku sering bermimpi tentang kegelisahanku. Dan saat terbangun dalam kegelisahan di tengah istirahat malamnya, beliau berulang kali bergumam dalam gelap ‘Tidurlah, Galuh… Apa yang kau risaukan? Sudahlah, tenanglah.’. seolah-olah beliau sedang berbicara pada arwah penasaran yang menggelayuti alam mimpinya.

Aku sendiri justru tak mengerti ada apa. Aku merasa sendiri dan sepi. Itu saja. Kalau menurut teman-teman aku butuh mereka, mungkin mereka benar tapi mungkin juga mereka salah. Aku tak pernah menemukan apapun dari sosialisasiku dengan mereka. Hanya senyum dan tawa palsu. Mereka senang berteman denganku karena aku selalu mengusir kesedihan mereka. Aku membuat mereka tertawa. Tapi apa mereka pernah meraba sudut hatiku?

***
“Halo..”


“Hay…”

“Apa kabar?”

Satu per satu ku sapa semua daftar on-line di daftar messenger ku. Aku begitu antusias melihat daftar messenger ku lumayan ramai sore ini.



Dua, tiga menit kutunggu, tak ada juga balasan. Mungkin mereka sibuk, pikirku. Ku coba lagi .

“Sibuk , ya?”

“Hm, ada orangnya gak nih ?”

Dan berbagai sapaan awal lainnya. Ku harap paling tidak ada satu saja diantara teman-teman ku itu membalas sapaan ku.

Lima menit , sepuluh, lima belas menit berlalu, tak satupun bergeming. Mereka bukan hanya sekedar teman yang ku temukan di dunia maya, di daftar room atau sejenisnya. Mereka yang ada di daftar ku itu semuanya adalah teman-teman dunia nyata yang kini sedang terpisah jarak begitu jauh denganku. Aku sendirian di kota ini. Dan mereka jauh di seberang lautan - tepatnya samudera. Terpisah benua. Dan tentunya berbeda waktu beberapa jam.

Kulirik waktu, dua puluh menit sudah, tak ada satupun teman yang membalas sapaan ku. Ku alihkan pandangan ku ke internet explorer. Kubuka Facebook, melihat perkembangan di jaringan sosial ku. Ramai, tapi tak satupun menyapaku. Status yang kubuat seminggu lalu dan belum ku ganti itu, sepi tanpa komentator.

Dengan sedikit rasa hambar, ku tutup jendela facebook, dan ku lihat e-mail pribadi ku. Inbox-nya kosong. Ku coba hibur diri

Aku mulai menimbang-nimbang. Dan akhirnya kuputus koneksi internet ku.

Aku matikan komputerku juga. Dan aku kembali ke meja kerja ku, namun bukan untuk bekerja. Aku melamun. Pikiran ku melayang jauh.

Sepi rasanya. Aku ramai, namun ramai itu bukan ramai ku. Telepon kantor dan telepon genggam ku pun terus berdering, namun aku tahu, bahkan sudah hapal dengan nomer-nomer yang muncul di layar telepon kantor & telepon genggamku itu. Hanyalah deretan nomer dari manusia-manusia yang sedang mengetukkan jari dengan tak sabar, menunggu aku menjawab telpon dari mereka. Aku benci pekerjaan ini. Harus berurusan dengan orang-orang keras kepala yang bahkan tak mau mendengar alasan dan penjelasan.

Mereka seharusnya tahu, bahwa aku disini menahan sakit di setiap langkah yang ku jejakkan. Bahwa aku bersyukur di setiap detik yang berlalu, karena itu artinya sisa waktu untuk tetap tinggal disini makin berkurang. Mereka harusnya tahu itu !

Tak seharusnya mereka selalu berteriak padaku seolah aku budak yang harus menuruti setiap perkataan tuannya, dan hanya bisa tertunduk mengiyakan setiap perkataan dan tindakan.

Sekarang hidup bagiku hanyalah jalan sunyi dan hampa saja. Lengang tanpa teman, sepi tanpa kawan. Toh, tak ada yang menganggap aku ini ada. Tak satupun dari mereka yang aku anggap teman, mau membalas sapaan ku. Dan ini bukan yang pertama kalinya bagiku. Jadi semuanya jelas sudah. Ini mungkin pilihan terbaik yang Tuhan pilihkan untukku. Hidup terasing, supaya aku menyadari arti hidup. Toh, di tengah keramaian pun tak ada yang melihat eksistensi ku.

Aku selalu menghitung mundur waktu, tapi untuk apa? Untuk pulang? Pulang kemana? Untuk apa? Untuk siapa? Dan apa hakekat pulang itu sebenarnya? Aku toh takkan pernah tau, jika mungkin detik ini adalah detik akhir ku diberi kesempatan untuk bernafas. Lalu hitungan mundur yang mana yang sedang kusyukuri? Pulang yang mana yang aku nanti ? pulang ke tempat aku seharusnya berada, atau pulang ke tempat seharusnya aku kembali ?