Jumat, 11 Juni 2010

When You Come to My Life

When you come to my life, through my days, I just can’t ever believed that something wonderfull is coming in my life and I just think that all of that were just my day-dream. When this joy came, I just not strong enough to handle it.

Saat kebahagiaan itu datang aku ternyata tak cukup kuat untuk menampungnya. Dan begitu takut bahwa rasa bahagia ini hanya datang untuk kemudian pergi lagi. Aku tak ingin semuanya berakhir. Aku ingin selamanya ku kecap manis ini, di dunia dongeng yang indah ini. Aku sadar semua yang ada akan tiada, aku paham tak ada yang kekal, kecuali Yang Maha Kekal. Namun aku sungguh berharap semua akan tetap sama. Meski tak pernah berhenti bergema pertanyaan dalam jiwa “bisakah aku menikmati saja senyum hari ini, tanpa hiraukan kemarin, tanpa peduli esok?”

My Sweetest Toxin

Aku tak ingin mengingat. Aku ingin bebas saja. Namun candu ini telah memikat ku, the sweetest toksin. Aku telah menahan. Aku sudah belajar. Ku tahu begitu pun dengan kau. Kita sudah belajar untuk saling membenci.

Aku tak seharusnya begini. Aku ingin pergi, dan aku ingin kau pun pergi tinggalkan aku. Kau pun ingin aku membenci mu saja. Dan sudahi semua kekonyolan ini. sudahi semua angan yang terlalu indah ini.
Namun bahkan dalam tidur ku pun aku melihat bayangmu, lalu bagaimana bisa aku membuang semua pikiran tentang mu. Saat terbuka mata , aku bisa menipu diri bahwa aku telah lupa akanmu. Namun setiap kata dalam pejaman mata itu adalah ungkapan alam bawah sadarku.

Saat aku menulis ini, bolehkah aku memanggilmu “yang terkasih” ? Aku telah lama menantimu, bukan sejak awal aku tahu bahwa aku telah menemukan separuh jiwaku, namun sejak hidup ini terasa begitu hampa, sejak sisi lain dalam hati memanggilmu.
Kekasihku, bisakah aku, kuatkah aku menantimu lebih lama lagi? Masih bisakah aku berbohong pada diriku, bahwa kau bukanlah bagian terpenting dalam hidupku, bahwa kau hanyalah sepotong cerita yang ingin kurobek dan kubuang tanpa jejak?

Ada saat dimana kau memojokkan aku karena aku begitu mengagungkan logika dalam sisi otakku, dan kau meminta aku untuk percaya bahwa semua apa yang kau tulis, kau katakan itu nyata. Kau meminta aku tak menjauhimu, meski saat ku benci dan marah. Aku katakan hal pernah ku katakan tentangmu. Hal yang sebelumnya ku larang kau untuk melakukannya, namun ku langgar sendiri. Aku meminta agar kita bisa menjadi matahari dan klorofil yang sehat, bukan heroin dan pecandunya, namun kenyataan berkata aku telah salah menilai diriku sendiri. Aku pikir aku cukup kuat menampik heroin itu. Ternyata aku begitu lemah. Aku benci diriku saat mulai meimkirkanmu. Aku benci diriku yang menulis kata-kata indah untukmu. Aku benci semua keindahan yang kurasa saat mengingatmu.

Saat ini ku hanya bisa menerima kata-kata mu yang selalu menyakitiku, dengan mengungkapkan apa yang kau rasa. Setiap kata yang kau ungkap menambah sakit di ulu hatiku. Dan kuminta kau untuk berhenti. Namun kau tak pernah mau berhenti. Kau pun menghakimi aku yang selalu mencoba berbohong pada diriku sendiri, dan terlebih lagi padamu. Aku pun memaki diriku. Aku tak ingin mengakui. Aku terlalu sombong untuk mengalah, bahkan pada diriku sendiri.

Kau selalu mengingatkan aku, bahwa kau tak sebaik yang aku pikir. Aku pun begitu tak ingin kau memujaku dari angan yang palsu. Namun pernahkan kita peduli akan peringatan-peringatan itu?

Saat ku pergi, kau mencari aku. Saat kau tak ada aku pun begitu. Ingin ku untaikan segala mutiara kata untukmu, agar kau bisa melihat rangkaian itu saat kau kembali. Mungkin itu bisa mengukirkan segores senyum pada wajah mu. Paras yang teduh dan sejuk, membasuh segala kerontang jiwa ku. Tahukah bahwa paras itu bukanlah alasan ku untuk memujamu. Bukan itu, kekasih. Bukan. Justru wajah itu yang mengundang segala ragu dan membuat ku selalu bertanya “pantaskah aku disampingmu?”. Ada hal lain yang mengundang kau menjadi canduku, candu manis ku. Ada hal lain yang membuat aku tak pernah mau berkata “aku suka padamu”. Karena jauh sebelum kata-kata itu terlontar, berjuta kata lain telah mendesakku untuk mengungkapnya. Ada kata lain yang tak pernah kusentuh, kini ingin ku beranikan untuk mengatakannya. Aku ingin kau tahu, aku tak hanya sayang padamu, kekasih. Aku cinta padamu.

Kebisuan Dunia Hitam-Putih

Sejak ku mengenalmu, dunia ini adalah hamparan warna hitam-putih. Lagu di tiap harinya adalah nada sepi.
Entah warna gelombang seperti apayang kau goreskan pada kanvas duniaku. Entah untaian musik yang mana yang kau rangkai pada bait nada hidupku. Kau membawakan berjuta warna lain yang begitu memukau. Kau mainkan milyaran selendang nada irama hidupku. Namun aku hanya mampu menatap apa yang kasat mata dan mendengar sejauh jaungkauan gelombang audiosonik.
Biarlah hitam-putih duniaku bisu. Jika ini memang kenyataan yang harus aku terima. Aku telah lelah bermain bersama angan-angan. Aku tak ingin lagi menarikan selendang pelangi. Aku hanya butuh realita.
Sepi ini datang lagi. Aku tak pernah menyangka bahwa aku akan merasakannya lagi. Ku pikir aku sudah bisa mengusir rasa sepi ini. namun ternyata rasa itu hanya bersembunyi , dan kini terkuak lagi.
Ku lihat hari ini tempat yang sedang kau kunjungi. Aku membayangkan kau disana tertawa , dan melepas segala penatmu. Namun aku mengharap, saat kau terdiam sendiri, kau mengingatku. Bodoh , memang angan yang bodoh. Aku berharap kau merasa kesepian yang kurasa. Meski aku tertawa dan bergurau di tengah teman-teman ku, namun saat aku terdiam kembali aku merasa sepi yang menyayat ini. aku merasa jiwaku tak ditempatnya. Jiwaku melayang ke lembah pandalawangi.
Jika saja aku ada disampingmu. Aku bisa menatap matamu, dan menyelami kedalamannya yang sunyi.

Renungan Pagi

Sunyi. Lagi-lagi sunyi. Meski pagi baru saja menguak segala tirai gelap. Namun sunyi kali ini bukan lagi hampa yang kosong. Sunyi ini adalah suara kedamaian. Beberapa detik ku pejamkan mata, dan kuraba segala lirih suara. Nada semilir angin, sayup kicau burung di kejauhan, bahkan bisik hembus nafasku. Segala detil itu telah membawakan irama tenang dalam ritme dimensi hati. Kubuka mata dan kumantapkan bahwa aku tak ingin sembunyi. Aku siap menantang matahari.

Met Ied Milad..

Hari yang baru telah dimulai. Segala untaian kata ku rangkum dalam doaku pada-Nya. Doa tentangmu, untukmu.


Aku tak tahu apa yang harus ku minta. Aku hanya memohon semoga apa yang kau inginkan terwujud jadi nyata.

Dan jadilah yang terbaik, bagi dirimu, hidupmu, dan bagi apa yang kau usahakan untuk kehidupan setelah kehidupan.

Kamis, 13 Mei 2010

....kalah (3)

Aq tengah bercerita pada bintang tentang kerlipnya di fokus retinaku.
Aq telah bertanya pada sabuk galaksi tentang tarian orbitnya.
Namun kutatap jejakku hanya mampu mengukur sudut condong matahari..

"Lihat bintang yang berjajar 3 itu, Gal? "
Aku tak ingin menjawab, aku justru ingin bertanya apa maksud Yoga dengan berkata seperti itu.
"Tiap kali Yoga lihat jajaran itu, Yoga membatinkan Galuh".
Mulutku mulai terbuka untuk bertanya, namun Yoga tertunduk lalu tersenyum - senyum untuk dirinya sendiri ke arah berlawanan dimana aku duduk.

           Aku tak suka senyum yang dia buang itu. Untuk apa dia tersenyum ? Namun ingin kutangkap apa maksud senyumnya itu. Kurasa pahit, dan kucium aroma yang abu-abu.

          "Yoga memang pecundang. Selalu kalah dalam hidup. Yoga ingin hancur", ucapnya masih dalam pandangan ke arah yang berlawanan dari tempat aku duduk.
"Kekalahan macam apa? Lo idola, lo sukses, lo merangkum semua hal yang di mau-in sama semua orang" .
"Banyak...", suaranya mulai melemah
"Misalnya ?", tanyaku lagi
"Kamu". Kali ini wajahnya menatapku. Dan matanya mendadak tajam menusuk fokus retinaku.
Apa yang dia inginkan dengan berkata seperti itu? Tak tahukah dia apa artinya kata-katanya itu untukku? Biarkan luluh aku hancur demi mendengar pengakuan itu - jika semua itu adalah sebuah pengakuan.

Minggu, 25 April 2010

(2)

...Malam ini aku melihatnya kembali. Namun tak lagi pandang malu atau tertunduk dan melarikan diri saat ia melihatku.



“Hey, kmna aja slma ini? Ya Allah.. lo tu ya, lupa ma temen”, Badriah menyeretku dan aku hanya bisa cengir kuda tanpa jawaban untuknya. Aku bingung harus darimana untuk memulai cerita ku. Tapi Badriah tetap memintaku untuk berceloteh. Kami duduk di salah satu sudut kantin. Namun aku sepertinya tidak tertarik untuk bercerita padanya, karena ada titik lain yang menarik fokus retinaku.

Satu kumpulan , aku bisa katakan sekitar 6 orang sedang berjalan di belakang punggungku, namun bahkan dari cara mereka berjalan dan dari apa yang mereka bicarakan aku mengenal mereka. Mataku hanya melirik langkah kaki mereka, tanpa berani menatap langsung.

Kurasa suhu telingaku naik, dan warnanya mulai memerah, aliran darahku menjadi cepat dan degup jantungku tak terkendali. Nafasku tersentak seolah terjeda detak yang baru saja lewat, selayaknya terkejut saat ujung telunjuk menyentuh kabel yang terkelupas. Mereka duduk membentuk lingkaran di meja tepat di samping mejaku. Lima orang dari mereka menatapku dalam bisu. Mereka tentu saja mengenalku, kami pernah bekerja bersama-sama di tempat yang sama, meskipun di bagian yang berbeda. Lima orang itu ingin menyapaku, namun mata mereka tertuju pada seorang lainnya yang duduk memunggungi sisi kananku. Seolah bertanya, legal-kah jika kelima orang itu menyapaku.

Aku hanya tertunduk, dan menatap ke arah yang berlawanan, aku tak ingin menatap ekspresi tanda tanya mereka. Dan Badriah mulai kesal karena setiap kali dia berbicara, aku hanya akan menjawab “Apa? Ngomong apa tadi” , atau “Maaf, Bad, ga kedengeran. Apa sih? ”

Telepon di genggaman kanan ku berdering. Aku terkejut menatap nomer yang tertera di layarnya. Bagaimana mungkin aku tak mengenal nomer itu? Aku bahkan hapal di luar kepala, tanpa harus mencatatnya lagi. Namun aku berusaha tenang tanpa mengisyaratkan degup kencang jantungku.

“Halo ?”

“Assalamualaikum”

“Wa alaikum salam”

“Pripun kabare? Sampean sampun klalen kalih kulo. #$@$^^&*^%^%$%#($#@#@..”

“Hah ? Kulo mboten ngertos Jawi.”

Aku bingung harus menjawab apalagi. Aku memang benar-benar tak mengerti apa yang harus ku ucapkan sebagai jawaban.



Tawa ringan dan lembut terdengar dari seberang line telepon. Dan aku tak tahu apakah aku harus tertawa juga atau merasa lega, setidaknya. Namun aku masih merasa gugup, entah kenapa.

“Apa kabar, Gal?”, begitulah dia biasa memanggilku. Tak pernah lengkap. Sebenarnya aku tak suka dengan panggilan seperti itu, terkesan membentak, namun panggilan itulah yang aku rindukan, paling tidak selama 4 tahun belakangan ini.

“Alhamdulillah baik”, aku berusaha menahan suaraku sedatar mungkin.

“Kenapa nunduk aja daritadi?”, kali ini suaranya mulai lunak ,dan terkesan menahan tawa. Lalu dia pun membalikkan badannya, kini tak lagi memunggungiku. Wajahnya di hadapanku saat ini. Dia memutar arah kursinya, dan mengarah ke meja di mana aku dan Badriah duduk berhadapan. Kini ku lihat melewati punggungnya, kelima orang temannya melambaikan tangan padaku dan tersenyum. Aku pun tersenyum dalam gugup.

Ku rasa telapak tanganku basah oleh keringat. Aku meluruskan pandanganku untuk menatapnya. Kapan terakhir kali aku menatap detil-detil wajah ini? Bersih dan putih kulitnya bercahaya. Dagu yang kuat menggambarkan keras karakternya. Namun bibir tipis itu adalah gambaran halus tutur katanya. Hidungnya adalah kemiringan yang lurus tanpa lekukan tulang rawan. Dan matanya, titik ini aku tak bisa menggambarkan detilnya kecuali kedalaman misteri yang ia pendam di balik sinarnya. Alisnya begitu tipis namun membentuk bingkai untuk mata yang teduh itu. Rambutnya, adalah gambaran metroseksualnya. Aku yakin ini adalah model yang terbaru saat ini.



Badriah tercengang. Bibir bawahnya terbuka, seolah ingin mempertanyakan sesuatu, namun tercekat di tenggorokannya saja. Dan pada akhirnya, Badriah berkata bahwa ia menunggu ku di tempat yang sama esok siang. Dia akan mengajak teman-teman yang lain, untuk menggelar reuni bersama.



Dia terdiam, hanya memandangku yang juga membisu. Lalu aku tertunduk, namun ia pun ingin mengikuti fokus retinaku, ia merendahkan wajahnya untuk menatapku. Dan aku kembali menatapnya. Apa yang harus ku katakan? Akankah aku bercerita tentang diriku? Tahukah dia, bahwa jalanku adalah jalan yang panjang saat aku tak bisa menatap wajahnya. Akankah dia mengerti bahwa ceritaku adalah torehan pedih kerikil tajam di telapak tapak jejakku?

Tidak, aku tak ingin membuatnya mendengarkanku. Sebaliknya, aku ingin mendengar ceritanya. Dan aku mulai membuka suara.

“Gimana selama 3 tahun ini? Apa aja yang udah gue lewatkan?”, aku lebih meilih tata bahasa pergaulan untuk menghindari kegugupanku. Aku berharap bisa berbicara sebagai teman dengannya.

“Yoga mau denger cerita Galuh. Kemana aja Galuh selama 3 tahun?”

Aku kembali menatapnya, kali ini dengan tanda tanya di mataku. Namun aku tak berkata-kata. Bibirku terbungkam.

Darimana aku harus memulai? Dari saat aku pergi tanpa pamit padanya? Dari saat keputusan itu aku ambil tanpa seorang teman pun tahu kecuali keluargaku? Dari saat pesawat yang membungbungkanku tinggi itu tak membuat ku menyesali keputusan yang aku ambil? Atau saat penyesesalan datang di saat aku sudah menginjakkan kaki di tanah baru yang jauh dan gersang, dan aku berharap keajaiban karpet Aladdin datang menjemputku pulang?



“Ini kamar Yoga, Gal”

Kusapu pandanganku pada sekeliling ruangan kotak 4 x 4 meter itu. Sebuah lemari pakaian di satu sudut dekat jendela kamarnya. Dan kabinet lain di sisi kanannya. Di sisi berlawanan dengan pintu masuk, ada pintu lain yang sedikit terbuka – aku bisa tahu bahwa itu kamar mandi. Beberapa baju tergantung begitu saja, charger, bahkan alat masak di sudut lain.

“Maaf, ya berantakan”, Yoga mulai tergerak untuk memunguti satu per satu barang yang terserak di lantai.

Aku hanya terdiam sambil memandangnya. Kenapa aku tak pernah tahu bahwa dia hanya menyewa kamar kost dan tinggal sendirian saja? Yang aku tahu, dia pernah menunjukkan padaku dimana letak rumahnya, dan saat itu kupikir ia bersama keluarga utuhnya – ayah, ibu & saudara kandungnya.

Ada rasa kasihan terbesit dalam benakku saat melihat tatanan kamar itu. Yoga tak bisa mengatur dirinya sendiri. Ia butuh orang lain yang bisa memperhatikannya. Dan tanpa bertanya, aku merapikan kamar itu, mengambil barang-barang & baju yang berserakan itu, kususun pada tempatnya.

“Hey, Yoga gak ngajak Galuh kesini buat beres-beres”, ia mengahalangi jalanku ke kamar mandi untuk mengumpulkan baju-baju yang bergantungan di pintunya.

Aku hanya terdiam. Aku tak ingin menjawab, hanya menatap matanya saja. Sejak kapan aku seberani ini? Sejak kapan aku bisa menatap mata itu? Aku merasa aku bisa melakukan sesuatu untuknya untuk menebus ketidakpedulianku di waktu yang lalu. Namun ia mengajakku duduk. Kami duduk di lantai kamar. Ya, kamar 4 x 4 meter itu tak berisikan kursi. Hanya kasur lantai yang dilipatnya pagi saat terbangun seusai dipakainya malam hari.

“Ayo duduk, Gal. Yoga pengen denger cerita Galuh. Pasti seru. Galuh kan anak bandel”, ia merapikan tempat duduk yang beralaskan – hm, mungkin itu bantal gaya Jepang sebagai alas duduk, bedanya, tanpa meja pendek di hadapan kami.

Ah, dia tetap tak berubah, masih menyebutku si anak bandel. Namun kali ini aku tak ingin marah seperti saat sebelumnya dia menyebutku begitu.

Kamis, 08 April 2010

Saat hidup terasa begitu sepi, pernahkah terlintas dalam pikiranmu ‘aku sudah bosan dengan hidup ini” ?. atau pernahkah kau muak menatap dan menghitung bintang yang biasanya memukau mata mu? Dan bagiku semua mimpi penghias itu hanyalah pita-pita mungil penghias lembar polos istirahat malam kita. Sekilat mimpi buruk yang mengejutkan saat dini hari akan membuat kita terenyak dengan kasar dari tidur yang melelahkan setelah terengah berlarian dengan implus imajinatif. Dan sebaliknya, kita ingin terus terpejam untuk ,melanjutkan mimpi indah saat kita menatap jalur pita indah itu dengan hiasan senyuman.
Dan dalam kenyataan saat kita membuka mata di hari yang baru, apakah yang akan kita temukan ? akankah kita temukan lagi kejemuan yang sama dengan hari yang sebelumnya ? akankah ada warna lain di rotasi bumi hari ini ?
Saat aku berusia 8 tahun aku ingat aku pernah berkata dengan marah pada seorang temanku, “kalo gue difitnah, gw bakal bener ngelakuin apa yang difitnahin ke gue itu”.




Dan saat di SMP, seorang guru BP (Bimbingan Penyuluhan) berkata, bahwa karakter dasar dari sifat seseorang bisa dilihat saat ia masih anak-anak. Karakter yang ditunjukkan saat masa anak-anak itulah yang akan menjadi basic sifat saat dewasa.



In fact, sekarang banyak dendam yg ku pendam. Dan daripada menjadi seorang bergejolak untuk selalu membalas dendam, aku memilih untuk menjadi tipe ‘Suffer in Silence’ yang berdarah dingin instead.

Tapi dengan memendam amarah itu, aku seperti menumpuk dendam yang ingin ku pendam. Untuk menahan rasa yang makin memuncak itu benar-benar tidak pernah mudah. Apa kau akan terima saat atasanmu menyudutkan orang tuamu karena ingin menjatuhkan mentalmu? Apa kau akan tinggal diam saat adikmu dihina sedemikian rupa yang bukanlah kesalahannya, dan hanyalah korban dari manusia-manusia kotor bertopeng dewa? Bullshit, kalau kau jawab ya.

Tapi nyatanya aku diam. Namun tak pernah benar-benar diam. Seperti Merapi dengan lembut menyembunyikan magma yang dikandungnya, seperti itulah aku tersenyum manis pada dunia setiap harinya.

Senin, 05 April 2010

He smile his angel's smile

He smile his angel’s smile


But I just not strong enough to endure it



Semalam aku bertemu lagi dengannya. Meski tak terlalu berani, aku tetap ingin menatapnya. Meski hanya dari balik pagar masjid, dimana ia sekarang sedang berjalan keluar darinya. Dibalut baju koko berwarna krem, ia begitu cerah. Dan ku berlalu ingin pergi, namun ia menatapku. Tanpa ku duga, ia tersenyum. Menyunggingkan senyum teduhnya. Masihkah ia mengingatku? Ya. Senyum itu seolah ia begitu terkejut dan sekaligus bahagia menyambutku. Namun ku lihat senyumnya memudar dan berganti ekspresi tanda tanya saat mataku bertemu tatapnya, namun aku segera berlalu pergi. Aku mungkin tak kuat menampung tatap senyum bahagia itu. Aku berlari, tanpa ingin menoleh atau hanya sekedar ingin tahu, masihkah ia menatapku.

Jack & Sulur Pelangi

Jack begitu bermimpi bisa meraih mimpi di balik tirai mendung, menggenggam awan2 yang menggumpal. Naik dan terus naik, memanjat batang kacang polong yang terjuntai tinggi ke lapis langit. Dan sampailah ia kini disana, di tempat istana mimpi. Negeri di balik awan ungu. Dari sana Jack menyapu pandangannya pada seluruh negeri di bawah sana. Ia bisa melihat dengan leluasa. Semua yang begitu luas nampak begitu mungil sekarang dalam kacamatanya. Jack bisa menggenggam gumpalan gunung yang sombong menjulang tinggi di seberang sana itu. Tak perlu pula mendaki dengan susah payah lagi. Senang rasanya bermain-main di atas angin. Jack tertawa gembira. Menari berselendangkan cahaya pelangi. Inilah istana impian.


Tapi ada celah kosong disisi lain istana mimpi itu. Sepi dan begitu dingin. Tak ada sesiapapun disini. Kehidupan di bawah sana itu nampaknya begitu indah dan ramai. Berpijak pada tanah hitam, berlari diantara aliran sungai dan bermain bersama ranting dan dedaunan hijau. Jack iri pada tawa ria yang didengarnya dari balik julangan layang-layang yang membumbung di sampingnya itu. Seolah benang nilon itu menjadi penghubung nada bahagia yang disuarakan untuk mengisi kehampaannya. Jack menjadi begitu rindu.



Jika sepi masih melanda di negeri mimpi ini, masih pantaskah tempat ini disebut istana impian?.

Jika rindu ini adalah rindu untuk tempat yang lain, dimanakah letak mimpi itu sebenarnya?

Jika keindahan yang terlihat ini ternyata jauh di hadapan mata, lalu keindahan apa yang sedang kupijak ini?



Manusia akan terus melukis dan melukis bahagia di dalam angannya. Tanpa menyadari apa yang sebenarnya dia cari adalah apa yang sedang diberikan Tuhan padanya. Mencari dan terus mencari, dan saat dia sadari apa yang dinginkannya takkan pernah terbatas. Namun apa yang idah itu akan terlihat jelas saat keindahan itu ia tinggalkan.

When All you have to do is GONE

Hari pernah begitu sepi saat kau pergi sebelumnya. Namun tak sesepi ini, karena saat itu ku tahu kau akan kembali. Namun kini kicau burung yang bernyanyi itu begitu nyaring memecah kesunyian, kicauannya bukan lagi nyanyi riang nan merdu, namun sendunya kesedihan meratapi pergimu. Dan sepi ini terasa tak menyenangkan, karena aku tak yakin kapan lagi aku bisa melihatmu.


Di bawah langit yang sama, kenanglah aku saat Maret berakhir. Saat hujan mengguyur tuk mengakhiri musim yang sedang menggeliatkan perubahan. Saat matahari kembali ingin mengoyak angin dingin Emirate. Di waktu yang sama tahun lalu, pertama kali kita berjumpa. Dan sejak itu hariku tak lagi sepi. Aku bisa tertawa, bersedih, dan bercerita bersamamu, kawan. Di tanah gersang ini, aku akan tergolek di tengah badai pepasir tandus tanpamu dalam baris semangatku. Terimakasih , dan berjuta syukur pada Allah yang telah mengijinkan aku tuk mengenalmu. Meski wajah tak bisa selalu saling menatap, tangan tak bisa selalu bergandeng, dan tawa tak bisa selalu seiring, namun ku simpan rapi kenangan tentangmu dalam lembar indah hidupku. Lembar indah yang menghiasi lembar-lembar abu-abu kusam yang lain.

Aku tak bisa katakan bahwa kau manis. Aku bisa berkata kau menyebalkan, dan selalu menggangguku. Namun saat ku kehilanganmu, saat itulah ku tahu, bahwa suaramu adalah pembasuh emosiku di sela-sela hari yang menjemukan. Tawa bahkan tangismu adalah warna di rona wajah duniaku yang muram.

Adakah yang memuji bahwa kau begitu indah? Pernahkah ada yang begitu jujur berkata bahwa kau bagian semburat ceria pelangi? Aku tak ingin menangis saat kehilangamu, namun aku akan selalu tersenyum saat ku pejamkan mata, lalu kuingat senyummu.

Harapan Itu Ada untuk Dihancurkan

Aku masih sempat berfikir bahwa aku bisa menemukanmu. Dan aku berharap bisa mendengar suaramu, sekali saja. Hanya untuk mengobati kerinduan. Kini aku tahu, Allah tak mengijinkanku untuk menebar harapan lagi.


Seperti biasa, harapan itu selalu ada, namun bagiku harapan itu selalu ada untuk dihancurkan, dan dikubur hidup-hidup.

Sakit, begitu sakit aku rasakan kini dalam hatiku. Aku tak ingin mengijinkan dunia tersenyum lagi. Karena tak ada lagi guna setiap senyum di dunia ini tanpamu. Saat kau pergi, kau bawa semuanya bersamamu. Bahagiaku, cahaya hidupku, dan dimana lagi kan kutemukan dirimu kini? Aku tersesat saat kau menghilang. Tiada lagi bahagia terlukis di wajah dunia ini tanpa wajahmu. Tiada yang indah lagi di dunia ini. Dan aku sendiri, benar-benar sendiri. Aku tak peduli dengan ribuan tawa dan cahaya di luar sana. Bagiku kini dunia itu sepi, hampa dan sunyi.

Mereka bilang aku gila, aku terobsesi dengan sesuatu yang tak nyata, bahkan tak bisa ku pahami dengan akalku sendiri. Mereka bilang aku sakit jiwa. Mereka boleh bilang apa saja, karena memang mereka tak mengerti apa yang sedang ku rasakan sekarang. Aku pun tak mengerti, kenapa bayangan itu selalu hadir di tiap mimpi, bukan hanya mimpi dalam pejaman mata saat ku tertidur – ya, katakanlah begitu, tertidur mungkin suatu ungkapan yang tepat saat ku tutup mata dan mulai beralih ke dimensi lain dengan beribu mimpi – atau bahkan saat aku hanya termenung tanpa tahu apa yang aku pikirkan.

Saat ku tulis sesuatu tentang apa yang ku rasakan, tentang mu, mereka bilang aku sendu, dan mereka terheran bagaimana wanita seperti ku bisa menulis kalimat seperti itu. Kalian bisa bilang aku karang, atau apapun itu yang menggambarkan sesuatu yang keras, membatu, dan tak bersahabat. Aku tak butuh bersahabat dengan siapapun disini, untuk saat ini. Karena mereka bukanlah orang- orang yang berhati tulus yang aku harapkan sebagai sahabatku. Aku akan lebih suka bermain bersama angan-angan ku sendiri, berlarian dan berkejaran bersama imajinasi.

Saat ada yang bertanya, aku hanya akan menjawab “aku butuh pulang”. Padahal aku takkan menemukan apapun pada kepulanganku nanti. Mungkin aku hanya akan menemukan kekosongan yang sama yang kini sedang mengisi black hole sudut jiwa. Aku mencoba berpikir logis, bertindak normal, dan melanjutkan langkah ku kedepan. Tapi untuk berpura-pura bahwa kau tak pernah hadir dalam mimpi ku, itu adalah kekonyolan terbesar yang harus aku lakukan. Untuk menganggap bahwa kau hanyalah bayangan yang lahir dari kreasi imajinasi ku sendiri, adalah hal yang sia-sia. Karena ku tahu, kau nyata, dan kau ada.

Senin, 08 Maret 2010

Aku tak tahu kenapa. Tapi aku takkan pernah memejamkan mata di awal malam. Aku hanya akan terpejam di penghujungnya, di awal pagi. Aku mencoba bertanya- atau tepatnya hanya bercerita- pada beberapa teman, dengan harapan mereka bisa menemukan satu alasan untuk itu.


Ku coba untuk menghubungi beberapa teman, hanya melalui pesan singkat, yang terkadang tak ada intinya sama sekali. Aku hanya ingin menguapkan apa yang sedang aku rasakan. Terlalu lama aku memendam emosi. Dan tak lama setelah pesan singkat itu terkirim, mereka justru tak membiarkan aku tertidur. Telepon genggam ku berdering, dan mereka reflek bertanya ada apa denganku. Lalu aku mengarahkan pembicaraan malam itu dengan bersenda gurau, tanpa mau mengungkap sedikit pun apa yang ku rasakan.

Ku pikir toh mereka tak bisa membantu memecahkan masalahku, karena aku sendiri pun tak tahu apa masalah itu sebenarnya.

Jumat sore, jadwal untuk menghubungi ibuku. Bercerita pada ibu, kadang menjadi obat yang paling ampuh saat kita mau jujur. Namun aku hanya akan berkata ‘semuanya baik-baik saja’ tanpa merasa ingin menambah beban pikiran orang tua yang jauh di seberang lautan. Dan hubungan ibu-anak memang diberi keistimewaan oleh Tuhan. Ibuku bertanya- tanpa perlu aku bercerita- ada apa denganku. Dengan nada halus dan lembut seperti biasa aku menjawab aku tak punya masalah apapun, semua berjalan normal- seperti biasa. Ibuku sering bermimpi tentang kegelisahanku. Dan saat terbangun dalam kegelisahan di tengah istirahat malamnya, beliau berulang kali bergumam dalam gelap ‘Tidurlah, Galuh… Apa yang kau risaukan? Sudahlah, tenanglah.’. seolah-olah beliau sedang berbicara pada arwah penasaran yang menggelayuti alam mimpinya.

Aku sendiri justru tak mengerti ada apa. Aku merasa sendiri dan sepi. Itu saja. Kalau menurut teman-teman aku butuh mereka, mungkin mereka benar tapi mungkin juga mereka salah. Aku tak pernah menemukan apapun dari sosialisasiku dengan mereka. Hanya senyum dan tawa palsu. Mereka senang berteman denganku karena aku selalu mengusir kesedihan mereka. Aku membuat mereka tertawa. Tapi apa mereka pernah meraba sudut hatiku?

***
“Halo..”


“Hay…”

“Apa kabar?”

Satu per satu ku sapa semua daftar on-line di daftar messenger ku. Aku begitu antusias melihat daftar messenger ku lumayan ramai sore ini.



Dua, tiga menit kutunggu, tak ada juga balasan. Mungkin mereka sibuk, pikirku. Ku coba lagi .

“Sibuk , ya?”

“Hm, ada orangnya gak nih ?”

Dan berbagai sapaan awal lainnya. Ku harap paling tidak ada satu saja diantara teman-teman ku itu membalas sapaan ku.

Lima menit , sepuluh, lima belas menit berlalu, tak satupun bergeming. Mereka bukan hanya sekedar teman yang ku temukan di dunia maya, di daftar room atau sejenisnya. Mereka yang ada di daftar ku itu semuanya adalah teman-teman dunia nyata yang kini sedang terpisah jarak begitu jauh denganku. Aku sendirian di kota ini. Dan mereka jauh di seberang lautan - tepatnya samudera. Terpisah benua. Dan tentunya berbeda waktu beberapa jam.

Kulirik waktu, dua puluh menit sudah, tak ada satupun teman yang membalas sapaan ku. Ku alihkan pandangan ku ke internet explorer. Kubuka Facebook, melihat perkembangan di jaringan sosial ku. Ramai, tapi tak satupun menyapaku. Status yang kubuat seminggu lalu dan belum ku ganti itu, sepi tanpa komentator.

Dengan sedikit rasa hambar, ku tutup jendela facebook, dan ku lihat e-mail pribadi ku. Inbox-nya kosong. Ku coba hibur diri

Aku mulai menimbang-nimbang. Dan akhirnya kuputus koneksi internet ku.

Aku matikan komputerku juga. Dan aku kembali ke meja kerja ku, namun bukan untuk bekerja. Aku melamun. Pikiran ku melayang jauh.

Sepi rasanya. Aku ramai, namun ramai itu bukan ramai ku. Telepon kantor dan telepon genggam ku pun terus berdering, namun aku tahu, bahkan sudah hapal dengan nomer-nomer yang muncul di layar telepon kantor & telepon genggamku itu. Hanyalah deretan nomer dari manusia-manusia yang sedang mengetukkan jari dengan tak sabar, menunggu aku menjawab telpon dari mereka. Aku benci pekerjaan ini. Harus berurusan dengan orang-orang keras kepala yang bahkan tak mau mendengar alasan dan penjelasan.

Mereka seharusnya tahu, bahwa aku disini menahan sakit di setiap langkah yang ku jejakkan. Bahwa aku bersyukur di setiap detik yang berlalu, karena itu artinya sisa waktu untuk tetap tinggal disini makin berkurang. Mereka harusnya tahu itu !

Tak seharusnya mereka selalu berteriak padaku seolah aku budak yang harus menuruti setiap perkataan tuannya, dan hanya bisa tertunduk mengiyakan setiap perkataan dan tindakan.

Sekarang hidup bagiku hanyalah jalan sunyi dan hampa saja. Lengang tanpa teman, sepi tanpa kawan. Toh, tak ada yang menganggap aku ini ada. Tak satupun dari mereka yang aku anggap teman, mau membalas sapaan ku. Dan ini bukan yang pertama kalinya bagiku. Jadi semuanya jelas sudah. Ini mungkin pilihan terbaik yang Tuhan pilihkan untukku. Hidup terasing, supaya aku menyadari arti hidup. Toh, di tengah keramaian pun tak ada yang melihat eksistensi ku.

Aku selalu menghitung mundur waktu, tapi untuk apa? Untuk pulang? Pulang kemana? Untuk apa? Untuk siapa? Dan apa hakekat pulang itu sebenarnya? Aku toh takkan pernah tau, jika mungkin detik ini adalah detik akhir ku diberi kesempatan untuk bernafas. Lalu hitungan mundur yang mana yang sedang kusyukuri? Pulang yang mana yang aku nanti ? pulang ke tempat aku seharusnya berada, atau pulang ke tempat seharusnya aku kembali ?

Senin, 01 Februari 2010

Sepatu Butut

Aku hanya sepatu butut. Yang tak hanya selalu terinjak, namun juga terbuang. Tak lagi berguna kini , hanya berselimut usang.


Adakah yang bersedia memungut ku ?

Aku akan senang sekali jika saja pemulung itu mau memasukkan ku ke dalam keranjangnya.

Lalu apa yang akan dia perbuat dengan ku selanjutnya?



Akankah dia hadiahkan aku sebagai penebus tangis sang anak yang kakinya terluka oleh sesampahan dimana mereka tinggal?

Akankah dia menjual aku ke tempat loak?

Atau hanya akan dilemparkan begitu saja ke tumpukan sampah di Bantar Gebang?



Aku muram kembali.



Harapan itu akan selalu ada. Namun bagiku, harapan itu selalu ada untuk dihancurkan dan dibunuh atau dikubur hidup-hidup.

Biarlah Gelap ini Gelap ku

Ada rasa kemarahan yang berusaha ku tolak. Ada cemburu yang tak bisa ku terima bahwa aku sedang merasakannya. Ada rasa tersembunyi bahwa aku ingin di posisikan di tempat istimewa, bukan hanya di sisi gelap .



Aku tahu, bahwa aku, kau, kita adalah hal yang seharusnya menjadi satu dalam kebersamaan. Tapi entah kenapa, aku merasakan ketidakadilan sedang melintasi aku, dan bahkan tak mau pergi. Terus menggelayuti hari-hari ku, membayangi ku bagaikan hantu yang tak rela meninggalkan bumi .



Biarlah hitam ini hitamku, dan gelap ini gelapku. Di sisi ini aku berdiri. Di atas tanah dunia sepi. Tanpa kawan, tak butuh teman.


Dan aku melihat peri-peri mungil yang membawa senyum ku pergi . mereka tak lebih dari iblis bertopeng yang menyemai detik bahagia, dan mencabutnya di detik kedua , bersamaan dengan saat mereka menunjukkan siapa mereka sebenarnya.



Lagi, lagi , dan lagi. Aku harus menelan pahitnya kekecewaan ini sendiri. Tanpa sesiapapun yang bisa kuajak untuk sekedar menyesali atau bahkan menangis.



Dan hari ini adalah hari kemarin yang kembali bergulir. Bagiku takkan pernah ada hari baru. Hari yang berbeda dengan kemarin. Bagiku, hidup ini masih taman pekuburan sunyi. Jam- jam yang ku lalui adalah jalan setapak yang lengang namun penuh semak berduri. Aku tak ingin melaluinya, aku selalu melihat ke jalan yang telah lalu. Mungkinkah aku masih bisa beralri kembali mundur?

Namun hanya dapat ku lihat tanpa bisa ku tembus. Aku terjebak.

Satu Muara Jawaban (2)

Kalau ada yang akan bertanya hal apa yang ku benci


Hal terakhir yang ku inginkan di dunia

Nama yang paling ingin ku lupakan

Ingatan tentang seseorang yang tak pernah ku ingini

Dan semua pertanyaan itu akan bermuara di satu jawaban

: kau.



Kalau ada saat yang paling ku inginkan

Ada hari yang ingin ku hapuskan

Dimana detik waktu itu

Jawabnya : di satu hari dimana aku berjumpa dengan mu



Aku akan setegar karang

Namun siapa yang tahu bahwa aku hanyalah seonggok hati yang rapuh

Aku menerjang apapun yang menghadang

Namun siapa yang menyangka aku tak pernah bisa menghancurkan sisi ingatan ku tentang mu



Tak pernah ada yang mengenang ku indah

Aku figur yang angkuh dan keras

Tak akan ada yang mengukir namaku indah dalam ingatan mereka

Namun tiba kini saatnya

Untukku, di mana bahkan untuk menangis pun aku tak mampu.

Satu Muara Jawaban (1)

Tak perlu lagi ku merenungi. Tak butuh aku bertanya, saat dimana kau bahkan tak disana.


Aku berharap kau ada disampingku.

Tak banyak yang ku ingin.

Senyum di wajahmu adalah pembasuh segala pedih pada jalan kehidupanku yang terik.

Cahaya yang terpancar dari hatimu adalah peneduh jiwaku yang rapuh.



Maaf itu tak seharusnya terlontar.

Maaf itu kupohon saat ku bercermin, dariku untuk diriku sendiri.

Maaf telah menyakiti, maaf telah mengaiaya.

Maaf ku pada hatiku karena mataku merindukanmu. Maafku pada mataku, karena hatiku merindukanmu.



Ku benci engkau, agar ku bisa menghapus bayangmu. Ku hapus bayangmu , agar bisa ku hilangkan semua ingatan ku akanmu.

Ku hapuskan segala ingatan tentangmu, agar bisa ku kubur mimpi-mimpi ku padamu.

Karena kau adalah segala mimpiku. Kaulah muara jawaban segala pertanyaan.

Jumat, 01 Januari 2010

Aku Sendiri

Rentangkanlah tanganmu
Dan rasakanlah hembusan angin di bawah langit yang mendung..
Dan rintik hujan mulai melelehkan awan di atas Laut Teluk ini
Aku harus menyadari meski dalam pejaman mata
Bahwa aku adalah hal yang satu

Aku benar-benar sendiri
Aku berteman, namun berjalan tanpa tuntunan
Aku ramai, namun jiwaku sunyi
Aku harus menyadari, hari ini bukanlah kemarin

Dan semuanya tentang mimpi yang berusaha ku wujudkan
Dan semuanya bukan di tangan orang lain, hanya di genggamanku
Di atas kaki ku, di tautan pundakku

Aku sendiri..
Aku benar-benar tak punya naungan
Aku sendiri, dan aku harus sanggup menolong diriku sendiri