Selasa, 21 Juli 2009

Membekukan Waktu

Pagi tak pernah dingin di Juli-nya Emirate.
Sampai batas awal Juni lalu aku tak pernah mau melewatkan detik-detik terbit surya dari batas cakrawala dimana laut Ajman dan kaki langit berjumpa.
Sampai mataku tak lagi sanggup menantangnya, aku akan terus terdiam menikmati perak dan emasnya fajar.

Namun kini aku tak pernah lagi sanggup memandang mentari. Aku berpura-pura menyibukkan diri berbincang dengan perkakas dapur, sapu, alat pel, percikan air, setrika, dan baju-baju ku – hal yang sebelumnya enggan ku lakukan, kecuali sangat terdesak.
Bersama debu-debu di balkon kamar pun, aku tak mau menatap batas cakrawala merah yang ada di depan mata itu lagi.

Aku berharap pagi ini segera pergi dan berganti malam.
Bersama malam pun aku tak mau lagi mencari kemana Jupiter menitikkan orbitnya hari ini.
Aku ingin malam ini cepat berlalu.
Aku hanya tertunduk dan menyibukkan diri, berharap waktu cepat berganti.

Namun teriknya musim panas di jelang Ramadhan ini pun tak mau mencairkan waktu.
Detik yang terlewat begitu lambat bergerak.
Sebekunya hatiku, waktu ikut membeku.
Padahal bersama 1 detik menguap nya tetes air di jajaran padang gersang ini telah ku uapkan pula senyumku.
Dan tak ada lagi sisa yang tertinggal, aku tak berhasrat lagi untuk sekedar mengukir satu senyum saja, senyum dari lubuk hati yang jujur.
Ribuan topeng ku pampangkan untuk tutupi hambarnya hari, namun tetap saja aku bukan aktor yang handal.

Kehampaan itu tetap ada disini.
Jika saja aku bisa mengalirkan satu tetes saja air mata. Namun aku masih saja bisu, begitu juga jiwaku.
Hanya ingin jalani saja.
Toh, aku tak mampu menembus dimensi, bahkan untuk meyakinkan jiwaku pun aku tak mampu.
Kalau ada yang harus ku tatap, itu pasti adalah wujud kekosongan yang beku.

Minggu, 12 Juli 2009

Lembaran ini tak mewakili apa2, selain tumpahan otakku yang kosong.
Tulisan ini tak mewakili apapun, selain gambaran kehampaan.
Setitik Debu.
Segores luka, setetes air mata, setapak jejak.
Selembar kisah.


Terjuntai setangkai mimpi menyapaku. Menghadiahkan aku seulas senyum jujur, begitu tulus ku rasa bahagia saat itu. Tapi takkan mudah jalan tuk meraihnya.
Karena mimpi itu terjuntai dari lapis langit, sedangkan aku masih tepekur saja merajut jiwaku yang masih rapuh.
Dan masih ku rapikan sayap2 lemahku. Penuh harap ku tatap langit.
Dan ku tengok lagi semangat ku yang luluh. Sanggupkah aku menggapai angan yang terletak tinggi di atas sana?
Semilir sang bayu mengusap luka, dan sedetik kemudian cahaya surya menantangku. Seolah beribu Tanya menghujam, mengapa aku masih disini, belum beranjak dari dunia ilusi? Dan sekali lagi ku tengok sayap2 rapuhku. Namun waktu tak mau menunggu. Tak ada kesempatan tuk bertanya. Siap atau tidak, aku akan menjejakkan tapak terakhir, dan membumbung tinggi mengangkasa.

satu tulisan kosong untuk satu keraguan yang samar