Jumat, 11 Juni 2010

When You Come to My Life

When you come to my life, through my days, I just can’t ever believed that something wonderfull is coming in my life and I just think that all of that were just my day-dream. When this joy came, I just not strong enough to handle it.

Saat kebahagiaan itu datang aku ternyata tak cukup kuat untuk menampungnya. Dan begitu takut bahwa rasa bahagia ini hanya datang untuk kemudian pergi lagi. Aku tak ingin semuanya berakhir. Aku ingin selamanya ku kecap manis ini, di dunia dongeng yang indah ini. Aku sadar semua yang ada akan tiada, aku paham tak ada yang kekal, kecuali Yang Maha Kekal. Namun aku sungguh berharap semua akan tetap sama. Meski tak pernah berhenti bergema pertanyaan dalam jiwa “bisakah aku menikmati saja senyum hari ini, tanpa hiraukan kemarin, tanpa peduli esok?”

My Sweetest Toxin

Aku tak ingin mengingat. Aku ingin bebas saja. Namun candu ini telah memikat ku, the sweetest toksin. Aku telah menahan. Aku sudah belajar. Ku tahu begitu pun dengan kau. Kita sudah belajar untuk saling membenci.

Aku tak seharusnya begini. Aku ingin pergi, dan aku ingin kau pun pergi tinggalkan aku. Kau pun ingin aku membenci mu saja. Dan sudahi semua kekonyolan ini. sudahi semua angan yang terlalu indah ini.
Namun bahkan dalam tidur ku pun aku melihat bayangmu, lalu bagaimana bisa aku membuang semua pikiran tentang mu. Saat terbuka mata , aku bisa menipu diri bahwa aku telah lupa akanmu. Namun setiap kata dalam pejaman mata itu adalah ungkapan alam bawah sadarku.

Saat aku menulis ini, bolehkah aku memanggilmu “yang terkasih” ? Aku telah lama menantimu, bukan sejak awal aku tahu bahwa aku telah menemukan separuh jiwaku, namun sejak hidup ini terasa begitu hampa, sejak sisi lain dalam hati memanggilmu.
Kekasihku, bisakah aku, kuatkah aku menantimu lebih lama lagi? Masih bisakah aku berbohong pada diriku, bahwa kau bukanlah bagian terpenting dalam hidupku, bahwa kau hanyalah sepotong cerita yang ingin kurobek dan kubuang tanpa jejak?

Ada saat dimana kau memojokkan aku karena aku begitu mengagungkan logika dalam sisi otakku, dan kau meminta aku untuk percaya bahwa semua apa yang kau tulis, kau katakan itu nyata. Kau meminta aku tak menjauhimu, meski saat ku benci dan marah. Aku katakan hal pernah ku katakan tentangmu. Hal yang sebelumnya ku larang kau untuk melakukannya, namun ku langgar sendiri. Aku meminta agar kita bisa menjadi matahari dan klorofil yang sehat, bukan heroin dan pecandunya, namun kenyataan berkata aku telah salah menilai diriku sendiri. Aku pikir aku cukup kuat menampik heroin itu. Ternyata aku begitu lemah. Aku benci diriku saat mulai meimkirkanmu. Aku benci diriku yang menulis kata-kata indah untukmu. Aku benci semua keindahan yang kurasa saat mengingatmu.

Saat ini ku hanya bisa menerima kata-kata mu yang selalu menyakitiku, dengan mengungkapkan apa yang kau rasa. Setiap kata yang kau ungkap menambah sakit di ulu hatiku. Dan kuminta kau untuk berhenti. Namun kau tak pernah mau berhenti. Kau pun menghakimi aku yang selalu mencoba berbohong pada diriku sendiri, dan terlebih lagi padamu. Aku pun memaki diriku. Aku tak ingin mengakui. Aku terlalu sombong untuk mengalah, bahkan pada diriku sendiri.

Kau selalu mengingatkan aku, bahwa kau tak sebaik yang aku pikir. Aku pun begitu tak ingin kau memujaku dari angan yang palsu. Namun pernahkan kita peduli akan peringatan-peringatan itu?

Saat ku pergi, kau mencari aku. Saat kau tak ada aku pun begitu. Ingin ku untaikan segala mutiara kata untukmu, agar kau bisa melihat rangkaian itu saat kau kembali. Mungkin itu bisa mengukirkan segores senyum pada wajah mu. Paras yang teduh dan sejuk, membasuh segala kerontang jiwa ku. Tahukah bahwa paras itu bukanlah alasan ku untuk memujamu. Bukan itu, kekasih. Bukan. Justru wajah itu yang mengundang segala ragu dan membuat ku selalu bertanya “pantaskah aku disampingmu?”. Ada hal lain yang mengundang kau menjadi canduku, candu manis ku. Ada hal lain yang membuat aku tak pernah mau berkata “aku suka padamu”. Karena jauh sebelum kata-kata itu terlontar, berjuta kata lain telah mendesakku untuk mengungkapnya. Ada kata lain yang tak pernah kusentuh, kini ingin ku beranikan untuk mengatakannya. Aku ingin kau tahu, aku tak hanya sayang padamu, kekasih. Aku cinta padamu.

Kebisuan Dunia Hitam-Putih

Sejak ku mengenalmu, dunia ini adalah hamparan warna hitam-putih. Lagu di tiap harinya adalah nada sepi.
Entah warna gelombang seperti apayang kau goreskan pada kanvas duniaku. Entah untaian musik yang mana yang kau rangkai pada bait nada hidupku. Kau membawakan berjuta warna lain yang begitu memukau. Kau mainkan milyaran selendang nada irama hidupku. Namun aku hanya mampu menatap apa yang kasat mata dan mendengar sejauh jaungkauan gelombang audiosonik.
Biarlah hitam-putih duniaku bisu. Jika ini memang kenyataan yang harus aku terima. Aku telah lelah bermain bersama angan-angan. Aku tak ingin lagi menarikan selendang pelangi. Aku hanya butuh realita.
Sepi ini datang lagi. Aku tak pernah menyangka bahwa aku akan merasakannya lagi. Ku pikir aku sudah bisa mengusir rasa sepi ini. namun ternyata rasa itu hanya bersembunyi , dan kini terkuak lagi.
Ku lihat hari ini tempat yang sedang kau kunjungi. Aku membayangkan kau disana tertawa , dan melepas segala penatmu. Namun aku mengharap, saat kau terdiam sendiri, kau mengingatku. Bodoh , memang angan yang bodoh. Aku berharap kau merasa kesepian yang kurasa. Meski aku tertawa dan bergurau di tengah teman-teman ku, namun saat aku terdiam kembali aku merasa sepi yang menyayat ini. aku merasa jiwaku tak ditempatnya. Jiwaku melayang ke lembah pandalawangi.
Jika saja aku ada disampingmu. Aku bisa menatap matamu, dan menyelami kedalamannya yang sunyi.

Renungan Pagi

Sunyi. Lagi-lagi sunyi. Meski pagi baru saja menguak segala tirai gelap. Namun sunyi kali ini bukan lagi hampa yang kosong. Sunyi ini adalah suara kedamaian. Beberapa detik ku pejamkan mata, dan kuraba segala lirih suara. Nada semilir angin, sayup kicau burung di kejauhan, bahkan bisik hembus nafasku. Segala detil itu telah membawakan irama tenang dalam ritme dimensi hati. Kubuka mata dan kumantapkan bahwa aku tak ingin sembunyi. Aku siap menantang matahari.

Met Ied Milad..

Hari yang baru telah dimulai. Segala untaian kata ku rangkum dalam doaku pada-Nya. Doa tentangmu, untukmu.


Aku tak tahu apa yang harus ku minta. Aku hanya memohon semoga apa yang kau inginkan terwujud jadi nyata.

Dan jadilah yang terbaik, bagi dirimu, hidupmu, dan bagi apa yang kau usahakan untuk kehidupan setelah kehidupan.

Kamis, 13 Mei 2010

....kalah (3)

Aq tengah bercerita pada bintang tentang kerlipnya di fokus retinaku.
Aq telah bertanya pada sabuk galaksi tentang tarian orbitnya.
Namun kutatap jejakku hanya mampu mengukur sudut condong matahari..

"Lihat bintang yang berjajar 3 itu, Gal? "
Aku tak ingin menjawab, aku justru ingin bertanya apa maksud Yoga dengan berkata seperti itu.
"Tiap kali Yoga lihat jajaran itu, Yoga membatinkan Galuh".
Mulutku mulai terbuka untuk bertanya, namun Yoga tertunduk lalu tersenyum - senyum untuk dirinya sendiri ke arah berlawanan dimana aku duduk.

           Aku tak suka senyum yang dia buang itu. Untuk apa dia tersenyum ? Namun ingin kutangkap apa maksud senyumnya itu. Kurasa pahit, dan kucium aroma yang abu-abu.

          "Yoga memang pecundang. Selalu kalah dalam hidup. Yoga ingin hancur", ucapnya masih dalam pandangan ke arah yang berlawanan dari tempat aku duduk.
"Kekalahan macam apa? Lo idola, lo sukses, lo merangkum semua hal yang di mau-in sama semua orang" .
"Banyak...", suaranya mulai melemah
"Misalnya ?", tanyaku lagi
"Kamu". Kali ini wajahnya menatapku. Dan matanya mendadak tajam menusuk fokus retinaku.
Apa yang dia inginkan dengan berkata seperti itu? Tak tahukah dia apa artinya kata-katanya itu untukku? Biarkan luluh aku hancur demi mendengar pengakuan itu - jika semua itu adalah sebuah pengakuan.