Minggu, 25 April 2010

(2)

...Malam ini aku melihatnya kembali. Namun tak lagi pandang malu atau tertunduk dan melarikan diri saat ia melihatku.



“Hey, kmna aja slma ini? Ya Allah.. lo tu ya, lupa ma temen”, Badriah menyeretku dan aku hanya bisa cengir kuda tanpa jawaban untuknya. Aku bingung harus darimana untuk memulai cerita ku. Tapi Badriah tetap memintaku untuk berceloteh. Kami duduk di salah satu sudut kantin. Namun aku sepertinya tidak tertarik untuk bercerita padanya, karena ada titik lain yang menarik fokus retinaku.

Satu kumpulan , aku bisa katakan sekitar 6 orang sedang berjalan di belakang punggungku, namun bahkan dari cara mereka berjalan dan dari apa yang mereka bicarakan aku mengenal mereka. Mataku hanya melirik langkah kaki mereka, tanpa berani menatap langsung.

Kurasa suhu telingaku naik, dan warnanya mulai memerah, aliran darahku menjadi cepat dan degup jantungku tak terkendali. Nafasku tersentak seolah terjeda detak yang baru saja lewat, selayaknya terkejut saat ujung telunjuk menyentuh kabel yang terkelupas. Mereka duduk membentuk lingkaran di meja tepat di samping mejaku. Lima orang dari mereka menatapku dalam bisu. Mereka tentu saja mengenalku, kami pernah bekerja bersama-sama di tempat yang sama, meskipun di bagian yang berbeda. Lima orang itu ingin menyapaku, namun mata mereka tertuju pada seorang lainnya yang duduk memunggungi sisi kananku. Seolah bertanya, legal-kah jika kelima orang itu menyapaku.

Aku hanya tertunduk, dan menatap ke arah yang berlawanan, aku tak ingin menatap ekspresi tanda tanya mereka. Dan Badriah mulai kesal karena setiap kali dia berbicara, aku hanya akan menjawab “Apa? Ngomong apa tadi” , atau “Maaf, Bad, ga kedengeran. Apa sih? ”

Telepon di genggaman kanan ku berdering. Aku terkejut menatap nomer yang tertera di layarnya. Bagaimana mungkin aku tak mengenal nomer itu? Aku bahkan hapal di luar kepala, tanpa harus mencatatnya lagi. Namun aku berusaha tenang tanpa mengisyaratkan degup kencang jantungku.

“Halo ?”

“Assalamualaikum”

“Wa alaikum salam”

“Pripun kabare? Sampean sampun klalen kalih kulo. #$@$^^&*^%^%$%#($#@#@..”

“Hah ? Kulo mboten ngertos Jawi.”

Aku bingung harus menjawab apalagi. Aku memang benar-benar tak mengerti apa yang harus ku ucapkan sebagai jawaban.



Tawa ringan dan lembut terdengar dari seberang line telepon. Dan aku tak tahu apakah aku harus tertawa juga atau merasa lega, setidaknya. Namun aku masih merasa gugup, entah kenapa.

“Apa kabar, Gal?”, begitulah dia biasa memanggilku. Tak pernah lengkap. Sebenarnya aku tak suka dengan panggilan seperti itu, terkesan membentak, namun panggilan itulah yang aku rindukan, paling tidak selama 4 tahun belakangan ini.

“Alhamdulillah baik”, aku berusaha menahan suaraku sedatar mungkin.

“Kenapa nunduk aja daritadi?”, kali ini suaranya mulai lunak ,dan terkesan menahan tawa. Lalu dia pun membalikkan badannya, kini tak lagi memunggungiku. Wajahnya di hadapanku saat ini. Dia memutar arah kursinya, dan mengarah ke meja di mana aku dan Badriah duduk berhadapan. Kini ku lihat melewati punggungnya, kelima orang temannya melambaikan tangan padaku dan tersenyum. Aku pun tersenyum dalam gugup.

Ku rasa telapak tanganku basah oleh keringat. Aku meluruskan pandanganku untuk menatapnya. Kapan terakhir kali aku menatap detil-detil wajah ini? Bersih dan putih kulitnya bercahaya. Dagu yang kuat menggambarkan keras karakternya. Namun bibir tipis itu adalah gambaran halus tutur katanya. Hidungnya adalah kemiringan yang lurus tanpa lekukan tulang rawan. Dan matanya, titik ini aku tak bisa menggambarkan detilnya kecuali kedalaman misteri yang ia pendam di balik sinarnya. Alisnya begitu tipis namun membentuk bingkai untuk mata yang teduh itu. Rambutnya, adalah gambaran metroseksualnya. Aku yakin ini adalah model yang terbaru saat ini.



Badriah tercengang. Bibir bawahnya terbuka, seolah ingin mempertanyakan sesuatu, namun tercekat di tenggorokannya saja. Dan pada akhirnya, Badriah berkata bahwa ia menunggu ku di tempat yang sama esok siang. Dia akan mengajak teman-teman yang lain, untuk menggelar reuni bersama.



Dia terdiam, hanya memandangku yang juga membisu. Lalu aku tertunduk, namun ia pun ingin mengikuti fokus retinaku, ia merendahkan wajahnya untuk menatapku. Dan aku kembali menatapnya. Apa yang harus ku katakan? Akankah aku bercerita tentang diriku? Tahukah dia, bahwa jalanku adalah jalan yang panjang saat aku tak bisa menatap wajahnya. Akankah dia mengerti bahwa ceritaku adalah torehan pedih kerikil tajam di telapak tapak jejakku?

Tidak, aku tak ingin membuatnya mendengarkanku. Sebaliknya, aku ingin mendengar ceritanya. Dan aku mulai membuka suara.

“Gimana selama 3 tahun ini? Apa aja yang udah gue lewatkan?”, aku lebih meilih tata bahasa pergaulan untuk menghindari kegugupanku. Aku berharap bisa berbicara sebagai teman dengannya.

“Yoga mau denger cerita Galuh. Kemana aja Galuh selama 3 tahun?”

Aku kembali menatapnya, kali ini dengan tanda tanya di mataku. Namun aku tak berkata-kata. Bibirku terbungkam.

Darimana aku harus memulai? Dari saat aku pergi tanpa pamit padanya? Dari saat keputusan itu aku ambil tanpa seorang teman pun tahu kecuali keluargaku? Dari saat pesawat yang membungbungkanku tinggi itu tak membuat ku menyesali keputusan yang aku ambil? Atau saat penyesesalan datang di saat aku sudah menginjakkan kaki di tanah baru yang jauh dan gersang, dan aku berharap keajaiban karpet Aladdin datang menjemputku pulang?



“Ini kamar Yoga, Gal”

Kusapu pandanganku pada sekeliling ruangan kotak 4 x 4 meter itu. Sebuah lemari pakaian di satu sudut dekat jendela kamarnya. Dan kabinet lain di sisi kanannya. Di sisi berlawanan dengan pintu masuk, ada pintu lain yang sedikit terbuka – aku bisa tahu bahwa itu kamar mandi. Beberapa baju tergantung begitu saja, charger, bahkan alat masak di sudut lain.

“Maaf, ya berantakan”, Yoga mulai tergerak untuk memunguti satu per satu barang yang terserak di lantai.

Aku hanya terdiam sambil memandangnya. Kenapa aku tak pernah tahu bahwa dia hanya menyewa kamar kost dan tinggal sendirian saja? Yang aku tahu, dia pernah menunjukkan padaku dimana letak rumahnya, dan saat itu kupikir ia bersama keluarga utuhnya – ayah, ibu & saudara kandungnya.

Ada rasa kasihan terbesit dalam benakku saat melihat tatanan kamar itu. Yoga tak bisa mengatur dirinya sendiri. Ia butuh orang lain yang bisa memperhatikannya. Dan tanpa bertanya, aku merapikan kamar itu, mengambil barang-barang & baju yang berserakan itu, kususun pada tempatnya.

“Hey, Yoga gak ngajak Galuh kesini buat beres-beres”, ia mengahalangi jalanku ke kamar mandi untuk mengumpulkan baju-baju yang bergantungan di pintunya.

Aku hanya terdiam. Aku tak ingin menjawab, hanya menatap matanya saja. Sejak kapan aku seberani ini? Sejak kapan aku bisa menatap mata itu? Aku merasa aku bisa melakukan sesuatu untuknya untuk menebus ketidakpedulianku di waktu yang lalu. Namun ia mengajakku duduk. Kami duduk di lantai kamar. Ya, kamar 4 x 4 meter itu tak berisikan kursi. Hanya kasur lantai yang dilipatnya pagi saat terbangun seusai dipakainya malam hari.

“Ayo duduk, Gal. Yoga pengen denger cerita Galuh. Pasti seru. Galuh kan anak bandel”, ia merapikan tempat duduk yang beralaskan – hm, mungkin itu bantal gaya Jepang sebagai alas duduk, bedanya, tanpa meja pendek di hadapan kami.

Ah, dia tetap tak berubah, masih menyebutku si anak bandel. Namun kali ini aku tak ingin marah seperti saat sebelumnya dia menyebutku begitu.

Tidak ada komentar: