Rabu, 06 Mei 2009

Mencoba Menanam Dusta


Seorang sahabat berkata,,"mudah-mudahan kamu tidak sedang membohongi diri sendiri..."
Sebelum kata-kata itu mengalir, pada hitungan mundur 588 jam sebelumnya, aku sedang menapaki debu di atas angin. Jiwa ku serasa meninggalkanku sesaat. Aku bahkan tak mampu membedakan manakah mimpi dalam pejaman mata, dan manakah yang nyata kasat mata.
Ada nada yang lain yang menggema jiwa kosong ini.
aku bahkan tak mampu mengelek bahwa aku menjadi begitu melankolis.
Aku tak sempat menemukan keindahan yang tersirat di wajahnya.
Tapi aku dapat merasakan angin yang teduh menghembusku, ada seirama lagu yang sendu berdengung, namun hati gamang, dan kaki menolak untuk berpijak.
Mata tak pernah mau menyesal pernah menatapnya, telinga tak pernah bosan tuk merindukan suaranya.
Namun kenyataan sedang berbicara padaku dalam bahasa yang sama sekali tak aku mengerti.
Satu kali saja Allah memberi ku kesempatan, dan aku ternyata hanya mampu membisu.
Seperti biasa, aku hanya bungkam, tak mampu berbahasa.
Hati selalu berbisik, namun suara yang lain tegas berkata tidak.
Namun suara manakah yang lebih menyiksa kini selain suara lirih bisikan hati ?

2 komentar:

This Shoulder 2 Cry On mengatakan...

bagai seorang pecinta yang menunggu kepastian dari sang bunga cinta, hehehe apakah c gw,,
yang lagi berharap cemas, menanti sesuatu yang pasti akan pergi, sebelum lo sempat mengucap selamat tinggal, katakan bahwa kau mengaguminya, dan kelak rasa itu akan mengiringi kepergiaannya, dibanding lo nunggu ga jelas, berharap dia bisa mengerti pikiran lo, hehehe dewi,, cinta itu perlu di ungkapkan, tanya aja sama yang udah pernah praktekin (bukan gw ya, hehe)

Deweyzzz.... mengatakan...

makasiy sarannya,no..
tapi rasa ego itu masih terformalin dlm karakter gw.tetep awet & sllu setia nyiksa gw...