Sabtu, 21 Maret 2009

Di Condong Tegak Sang Surya


Haruskah ku jujurkan kemarahan hati saat kau kembali mengoyak kedamaian yang telah dengan susah payah untuk ku hadirkan kembali dalam jiwaku? Ahh,,,
Buat apa kau berbuat hal konyol ,,hanya untuk membuat aku muak,, aku tak bisa menerima kenyataan bahwa aku ingin kembali berbicara padamu, meskipun hanya perdebatan sengit yang akan terjalin.
Memang itu yang kau harapkan,, kemarahan ku.


Tuhan,,,yang Maha Pembolak-balik hati hamba-Nya.
Jangan kau goyahkan lagi kemantapan yang telah dengan susah payah ku usahakan.
Kemantapan yang sebelumnya berdiri kokoh dengan tugu yang kubangun untuk
mengisyaratkan pekuburan mimpi, kini sedetik saja dia datang merobohkan tugu
itu, hanya dengan satu siulan saja.

Entah umpatan apa yang harus ku
ucapkan.
Darah ku bergelojak, entah apa yang harus ku lakukan lagi.
Namun semakin keras aku berteriak ,semakin aku menyakiti diri sendiri.

Bukan saatnya lagi mengenang fajar yang dulu pernah menyejukkan
condong sinar harapan di pagi yang berembun. Kini adalah waktu di mana matahari
tegak di atas kepala, begitu terik menyengat pada kenyataan yang kasat mata, dan
langkah yang berhadapan dengan apa yang kita namakan perjuangan untuk bertahan
dari tindasan roda waktu. Persiapan yang matang dalam masa metamorfosis. Jadi
jangan ajak aku lagi untuk membuai sisi alam bawah sadar ku, seperti apa yang
pernah ku lakukan dulu.
Aku sedang berjuang mengimbangi detik yang sedang
berjalan tanpa menawar & tanpa bertanya tentang kesiapan kita.
Jangan
goda aku untuk terdiam di tempatku sekarang berdiri,,karena siang ini tak kan
lama. Aku tak ingin menoleh ke belakang, di mana jejak di jalan kecil yang
setapak itu sudah tak nampak.

Tidak ada komentar: